Selamat malam sobat . Kejadiannya ini telah 13 tahun yg lalu, saat itu aku masih kuliah disebuah kota S pada P. saya mempunyai sahabat satu angkatan satu jurusan Yon namanya, berasal dari kota W. Kami begitu lengketnya, study, ngobrol, jalan ngalor-ngidul, ngapelin cewek satupun sering bersama. hingga kecewapun tak jarang bareng-bersama.
Yon si anak “bocor” tapi baik hati itu tinggal dirumah tantenya (yg biasa aku panggil bunda Tari) yg hanya punya anak gadis semata wayang. Itupun begitu lulus S1 Manajemen perusahaan pribadi dilibas habis kegadisannya sama pacarnya, pada suatu perkawinan, terus diboyong ke Jakarta.
Tinggallah bunda Tari ini bersama suaminya yg pengusaha jasa konstruksi serta trading itu dengan pembantu serta sopir. Kebetulan Yon ini keponakan kesayangan. masuk akal saja dia senang akbar kepala sebab jadi tumpahan sayang mak Tari. hingga suatu ketika dia minta tinggal pada luar tempat tinggal utama yg sebenarnya berlebih kamar, ya si tante nurut saja. Alasan Yon biar jikalau kembali larut malam, tidak merusak orang rumah karena minta dibukakan pintu.
Ruang yg beliau minta dan bangun artinya gudang di sebelah garasi kendaraan beroda empat. menggunakan selera anak mudanya beliau atur interior ruangan itu seenak perutnya. setengah selesai penataan ruang yg akhirnya jadi kamar yang relatif akbar itu, sekali lagi Yon menunjukkan diri agar aku mau tinggal bersamanya. waktu itu bunda Tari, hanya senyum-senyum saja.
seperti dulu-dulupun saya menolaknya. Gengsi sedikitlah, sebab ikut tinggal pada rumah Bu Tari berarti semuanya serba gratis, itu ialah hutang budi, serta merupakan lagi ketergantungan. biar aku suka pusing mikirin uang kost bulanan, makan sehari-hari atau nyuci pakaian sendiri, sedikitnya di kamar kostku saya mirip manusia merdeka.
tapi hari itu, entah karena bujukan mereka, atau karena sayangku jua di mereka serta kebalikannya sayang mereka padaku selama ini. Akhirnya saya terima jua tawaran itu, menggunakan perjanjian bahwa saya tidak mau serba perdeo.
saya maunya bayar, walaupun uang bayaran kostku itu ibarat ngencingin kolam renang buat Bu Tari yg memang kaya itu. Toh selama ini aku menduga rumah Bu Tari ini rumah kostku yg ke 2, sebelumnya seringkali juga saya menginap serta nongkrong hampir setiap hari pada sini.
ada satu hal sebenarnya yg ikut juga menghalangiku selama ini menolak tawaran Yon atau Bu Tari buat tinggal di rumahnya. Entah kenapa aku yang anak muda begini, senang mencicipi terdapat sesuatu yg aneh pada dada bila bertatapan, ngobrol, bercanda, diskusi serta berdekatan menggunakan Bu Tari. wanita yg selayaknya jadi tante atau bahkan ibuku itu.
Buatku mak Tari bukan hanya sosok wanita rupawan atau sedikitnya orang yang melihatnya akan menilai bahwa semasa gadisnya Bu Tari adalah perempuan yang luar biasa. Bukan hanya sekedar bahwa sampai setua itu mak Tari masih punya bentuk tubuh yg meliuk-liuk. Senyumnya, dada, pinggang, hingga ke pinggulnya suka membuatku susah tidur serta baru lega Bila aku beronani membayangkan bersetubuh dengannya. Jika aku beronani tidak cukup jika cuma keluar sekali saja.
tanda-tanda apa ini, apakah wajar aku terobsesi sosok wanita yang tidak hanya sekedar cantik, akan tetapi berintelegensi bagus, penuh kasih serta nature. Buatku secantik apapun wanita Bila tidak punya 3 unsur itu, hambar dalam selera dan pandanganku. seperti sebuah kitab kartun yg tolol serta tidak lucu saja layaknya.
Malangnya mak Tari mempunyai seluruh itu, serta lebih malangnya lagi aku . di bawah sadar tak jarang saya diremas-remas iri serta cemburu Jika melihat ibu Tari berbincang mesra atau melayani Pak Bagong, suaminya. Begitu telaten dan indah . Gila!
Selama aku tinggal pada tempat tinggal Bu Tari itu, pada awalnya semua biasa saja. Perhatian dan sayang Bu Tari kurasakan tidak ada bedanya terhadapku serta Yon. Kupikir semua ini naluri keibuannya saja. tetapi seluruh itu berjalan hanya sampai lebih kurang 4 bulan.
pada suatu malam berasal pulang jendela kamarku kulihat beberapa kali mak Tari keluar masuk rumah menggunakan gelisah menunggu Pak Bagong yang hingga jam 22.00 belum balik . sementara waktu dia kedalam sementara waktu keluar lagi, duduk dikursi, memandang kejalan dengan muka gelisah, membalik-balik majalah kemudian masuk lagi. Keluar lagi. Kuperhatikan belakangan ini ibu Tari begitu murung . terdapat dilema yg beliau sembunyikan. Senyumnya tak jarang kali getir serta terpaksa.
saya bergerak ke kamar mandi buat pipis. buku Nick Carter yg sejak tersebut membentuk penisku tegang kugeletakkan dimeja. akan tetapi begitu aku pulang ternyata Bu Tari sudah duduk di kursi panjang di kamarku memegang buku itu. saya hanya meringis ketika Bu Tari meledekku membaca buku Nick Charter yang pas dicerita ah., eh., oh kertasnya aku tekuk.
Sesaat selesainya kami kehabisan bahan bicara, muka Bu Tari pulang mendung lagi. beliau berdiri, berjalan ke sana sini dengan pelan tanpa suara merapikan apa saja yang dilihatnya berantakan. Sprei tempat tidur, buku-kitab , koran, majalah, sandang kotor dan asbak rokok. Ya maklum kamar bujanganlah. saya pindah duduk dikursi panjang lantas mematung memperhatikannya. seperti tanpa kedip. semua yang dilakukannya merupakan estetika seseorang wanita, seseorang ibu. bokep
selesainya terselesaikan, sejenak Bu Tari hanya berdiri, melihat jam didinding lalu menatapku menggunakan mata yang kosong. aku coba untuk tersenyum sehangat mungkin. Bu Tari duduk pada sampingku. Mukanya yang permanen murung akhirnya membuatku berani bicara mengomentari sikapnya belakangan ini serta bertanya kenapa?
Bu Tari tersenyum hambar, menggeleng-gelengkan ketua, membisu, menunduk, menarik napas pada serta melepasnya dengan halus. Sunyi. seperti ingin to the point saja, Bu Tari menceritakan duduk perkara dengan suaminya.
mirip kampung yg diserbu provokator serta perusuh saja, otakku tercabik-cabik, terbuka. korelasi Bu Tari dengan suaminya selama ini ternyata semuanya penuh kepura-puraan. Kemesraan mereka semu tidak bernurani, bagai sebuah ruangan 1/2 kosong, serta setengahnya lagi sekedar keterpaksaan pelaksanaan kewajiban saja. Bu Tari berada di dalamnya. Suaminya tahu akan tetapi seperti sengaja membiarkannya memikir, menghadapi serta menyelesaikannya sendiri. mendapatkan keadaan.
Entah karena kesepian, butuh orang menjadi tumpahan hatinya yg kesal dan rasa disia-siakan. Bu Tari menceritakan bahwa Pak Bagong sudah lama memiliki istri simpanan pada sebuah perumahan menengah pinggir kota. tidak pernah hal ini dia ceritakan pada siapapun juga kepada anaknya sendiri Mbak Clara di Jakarta. Sama menggunakan kebanyakan istri-istri pejabat yg walaupun tahu suaminya punya simpanan wanita, Bu Tari hanya mampu menunda hati.
konon pungkasnya, justru sebenarnya banyak istri pejabat yang malah mencarikan wanita spesifik buat dijadiakn simpanan suaminya sendiri, demi keamanan, “nama baik” serta jabatan. biar si suami tidak berasal hantam dan makan sembarang perempuan . Toh, Istri tahu atau tidak, terima atau tidak, si suaminya menggunakan jabatan, uang dan kelepriaannya dapat melakukan apa saja di perempuan -perempuan yg mau. seluruh itu seperti permaisuri yg mencarikan selir buat suaminya sendiri.
“dia ingin punya anak 604dea25b3a655fe1ab94434fad99f27 Win (Win nama palsu aku )” Begitu ucap Bu Tari malam itu. Matanya mulai berkaca-kaca. Dulu Bu Tari memang senang bercerita betapa inginnya beliau punya anak 604dea25b3a655fe1ab94434fad99f27 yg banyak. beliau suka menyesali diri kenapa ilahi hanya memberinya satu anak saja.
“Apakah itu alasan yg wajar Win” katanya lagi.
ke 2 tangannya memegang tangan kananku serta matanya yg memelas lurus menatapku. Seolah meminta dukungan bahwa kelakuan Pak Bagong galat. saya bingung. Mau ngomong apa, seribu istilah kocok-adukan diotak sampai aku hanya mampu menggeleng-gelengkan kepala.
Diluar dugaanku, tangis Bu Tari malah meledak tertahan. beliau jatuhkan mukanya ke pundak kiriku. aku resah, tapi insting lelaki-laki ku mengatakan beliau teraniaya dan butuh perlindungan, sampai akhirnya tanganku begitu saja merengkuhnya. Bu Tari malah membenamkan wajahnya ke dadaku. aku elus-elus punggungnya dan dengan pipiku kugesek-gesek rambutnya agar beliau tenang. Kucium wangi parfum berasal tubuh serta rambutnya.
Sesaat cita rasanya, sampai akhirnya Bu Tari menarik mukanya dan memandangiku menggunakan senyumnya yg gusar. saya ikut tersenyum. ada membuat malu, terdapat rasa bersalah, ada pertanyaan terdapat kehausan pada mata Bu Tari, dan ada yang menyesakan dadanya. Entah rasa sayang atau sekedar untuk menetralisir hatinya, aku usap air matanya menggunakan jariku. Bu Tari hanya membisu 1/2 bengong menatapku. tenang. Sepi.
“ibu senang sekali win kamu mau tinggal disini. Entah bagaimana cita rasanya tempat tinggal ini jikalau tidak ada engkau serta Yon. Sepi. tak terdapat lagi yang bisa diharapkan. Mungkin mak bisa tewas duka dirumah sebesar ini” Ucap Bu Tari pelan tertunduk murung .
Itil V3
“Kenapa mak baru menceritakannya kini ?” Ucapku.
“buat apa?” Ucap Bu Tari menggeleng-geleng.
“Setidaknya beban bunda bisa berkurang”.
“buat ibu relatif melihat kamu dan Yon ceria dan senang pada rumah ini. Kalianlah yg justru menghasilkan mak betah di rumah. buat apa mak wajib mengurangi seluruh itu menggunakan masalah mak . ibu sayang di kalian”. Ucap Bu Tari sambil memegang jari tanganku. aku membalasnya dengan meremas jari jemarinya pelan.
“engkau sayang di bunda kan Win? Tanya Bu Tari menatapku.
aku menggangguk tersenyum. Bu Tari tersenyum bahagia. lalu entah kenapa saya nekat begitu saja mendekatkan mukaku, mencium kening serta pipinya dengan lembut. Kulihat paras Bu Tari yang surprise tapi membisu saja.
“Bu Tari murka ?” tanyaku.
beliau menggeleng-geleng serta malah balas menciumku, menyenderkan kepalanya miring pada pundakku serta melingkarkan tangan kanannya di pinggangku. Kupeluk dia. usang sekali cita rasanya kami saling berdiam diri. tapi saya merasakan kedamaian yang luar biasa. hingga akhirnya suara motor Yon yang ucapnya habis diskusi di grup studinya datang dan bunyi pintu gerbang terbuka.
semenjak peristiwa malam itu hubunganku dengan Bu Tari jadi kian aneh. Mungkin awalnya hanya sekedar menawarkan rasa sayang serta cinta layaknya seseorang anak pada ibunya dan sebaliknya. Walau dengan diam-diam disetiap kesempatan yang terdapat kami saling tidak menyembunyikan seluruh itu. Bertatapan dengan mesra, bercanda serta saling memperhatikan lebih berasal dulu-dulu.
tapi seperti air yang tidak diatur, semua mengalir begitu saja. Kian lama Bu Tari serta saya berani saling mencium. Cium sayang serta lembut disetiap kesempatan yang terdapat tanpa seisi tempat tinggal memahami tapi kegalauan dihatiku permanen saja tak bisa kuingkari.
seringkali saya bertanya sendiri sayangku, cintaku, ciumanku serta pelukanku pada Bu Tari apakah manifestasi seorang anak pada sosok ibunya, atau seorang lelaki-laki pada seseorang wanita. Hati dan otakku setiap hari dililit pertanyaan sialan itu. Begitu menjengkelkan.
semua itu berjalan sampai tak bisa kuingkari bahwa birahi selalu mengikutiku Bila aku berdekatan serta mencium Bu Tari. Selama ini saya berusaha menekannya. tapi itu meledak di suatu sore yang sepi.
Semula saya hanya ingin meminjam koran yang umumnya tergeletak pada ruang keluarga rumah primer. akan tetapi ketika kulihat Bu Tari tengah berdiri menikmati ikan-ikan hias aquariumnya. datang-datang saya ingin menggodanya. saya berjingkat perlahan dan menutup kedua matanya dengan tanganku asal belakang. ibu Tari kaget berusaha melepaskan tanganku. aku menahan tawa tetap menutup matanya. akan tetapi akhirnya Bu Tari mengenaliku juga. Kukendorkan tanganku.
“Wiinn kamu bikin kaget mak saja akh..” Ucap Bu Tari tetap membelakangiku dan menarik kedua tanganku ke depan dadanya. Bu Tari bersandar di dadaku. kedua tanganku tepat mengenai payudaranya yang kurasakan empuk itu. Gelora aneh mengalir di darahku.
ad interim Bu Tari terus mengomentari ikan-ikan pada pada aquarium, saya justru memperhatikan bulu-bulu lembut di leher jenjangnya Rambutnya yg lurus sebahu ketika itu tertarik ke atas serta terjepit jepitan rambut, sampai leher cantik itu dapat kunikmati utuh. saya berdesir. Kurasakan napasku mulai berat. dengan bibirku akhirnya kukecup leher itu. Bu Tari merintih kegelian dan mencubit lenganku menggunakan genit.
“Hii. Jangan Wiinn akhh.., Merinding ibu ah”
Dekapan tanganku pada payudara serta dadanya makin bertenaga. saat kuperhatikan dia tidak marah dan damai maka kuulangi lagi kecupan itu berulang-ulang. Kumis serta bekas cukuran di janggutku membuatnya geli. akan tetapi kurasakan tangan Bu Tari perlahan mencengkram erat pada kedua jariku dan dia diam saja. aku makin bernafsu. Ciuman, kecupan serta hisapan bibirku makin menjadi-jadi ke leher serta telinganya. Bu Tari mendesah memejamkan mata. Kepalanya beranjak-gerak mengikuti cumbuanku.
Matanya terpejam serta napasnya menggelora. Kucari bibirnya, sebab susah maka kuputar tubuhnya menghadapku dan eksklusif kusambar menggunakan bibirku. Kupeluk erat Bu Tari. beliau menggeliat membalas permainan bibirku. kedua tangannya memegangi bagian belakang kepalaku seolah takut aku melepaskan ciuman bibirku. Cerita seks ini pada upload sang situs
Kuremas-remas payudaranya dengan tangan kananku. Bu Tari melepaskan ciumannya kemudian merintih-rintih dengan kepala terdongak ke belakang seolah memberikan lehernya untukku. dengan bibirku eksklusif kuciumi leher itu. akan tetapi datang-datang Bu Tari 1/2 menghentakan badanku mirip tengah bangun dari mimpi serta shock beliau mengatakan, “Ya tuhan, Wiinn.., apa yang kita lakukan?”
Bu Tari menjauhiku dan menempelkan kepalanya ke dinding menunda hati. Akupun bisu. tenang. usang sekali. saya kian gelisah, ingin keadaan itu berakhir. saya dekati Bu Tari, memeluknya lagi. kata-istilah cinta meluncur begitu saja berasal mulutku. seluruh itu membuat Bu Tari galau. Menggeleng-gelengkan kepalanya serta berlari masuk ke kamar menahan tangis.
Beberapa hari semenjak insiden itu Bu Tari tidak menyapaku. dia selalu berusaha menghindariku. saya galau, takut dia marah. Takut beliau menolak cintaku. aku takut gila, mencintai bunda kost sendiri, istri orang serta perempuan yang jauh lebih tua dariku. Ditolak jua. aku mulai sedih. tapi itu hanya kurang lebih 2 minggu.
Baca carita selanjutnya di Lawastoto
Hanya hingga pada suatu malam, bulan jatuh dipelukanku ketika Bu Tari lembut menyapaku serta tanpa bicara sepatah katapun menciumiku. semenjak dulu pula, Bila dibalik ke”nature”annya sekali waktu kulihat kerling genitnya, ialah bukti bahwa sebenarnya sudah usang saya tidak bertepuk sebelah tangan. tapi Bu Tari takut bicara ihwal cinta, bahwa dia sayang, merindukan dan membutuhkanku.
kontiniu…
Leave a Reply